Tuesday, December 27, 2011

cerpen belom ada judulnya

Lagi – lagi dia disana,disalah satu sudut ruangan di book rent café tempatku bekerja sambilan, sudah seminggu ini. Biasanya ia ada disana selama kurang lebih dua jam sibuk berkutat dengan netbooknya yang berwarna silver. Tangannya menari diatas tuts sambil sesekali merenung dan berpikir tak jarang pula bibirnya menyunggingkan senyum ide.

Aku suka memperhatikannya dari sini. Secara fisik kuakui dia menarik. Badannya walau tidak atletis tapi terlihat segar. Dan oh, aku paling suka matanya. Matanya coklat terbingkai alis yang lumayan tebal tapi tidak terkesan galak. Tapi ada ketegasan yang memancar dari sana.

Seorang pelanggan yang duduk di meja sebelah pemuda itu meninggalkan tempatnya dan keluar. Aku bergegas membereskan meja itu sambil mencuri pandang ke arah netbook-nya.

“Jangan suka mengintip, Charlotte.” Tiba – tiba ia membalikkan badan dan memergokiku sedang mencuri pandang.

“Ups…maaf aku…”

“Nggak papa deng. Aku mau minta pendapatmu.” Katanya sambil tersenyum. Lalu ia membuka beberapa foto, ada dua foto gereja megah bergaya eropa yang diperlihatkannya padaku. “Menurutmu lebih bagus yang mana?”

Kuamati kedua foto itu, keduanya sama – sama memukau tapi aku lebih suka yang ada patung malaikatnya. “Yang ini.”

“Oke makasih.”

Hari – hari setelah hari itu dia menghilang, lima hari ia menghilang dan baru muncul lagi hari Minggu. Waktu aku sedang suntuk – suntuknya dan aagak merindukannya. Aku memang tidak tahu siapa dia tapi aku merasa pernah mengenali wajah itu. Siapa ya?

“Hai, Charlotte.” Sapanya didepan meja kasir dengan senyumnya yang paling lebar. “Kamu mau ini?” tanyanya sambil menggusurkan sebuah gantungan berbentuk bola plastic yang berisi serpihan putih sehingga terlihat seperti ada salju di dalamnya.

“Wah, cantik. Buat aku?”

Dia mengangguk. Ku perhatikan wajahnya memerah terbakar sinar matahari. Jangan – jangan dia ke gereja itu? Setahuku gereja itu adanya di Eropa sana.

“Makasih yaa.” Kataku senang.

“Capucinno float satu yaa.”

“Oke.”

Sejak itu kami jadi sering ngobrol pendek. Aku juga tahu namanya, namanya Arya. Kalau café tidak rame dia menunjukkan padaku foto – foto negara yang pernah ia datangi. Ternyata dia seorang backpacker. Asik juga yaa bisa pergi kemana – mana gitu. Pasti dia sangat kaya.

“Jangan salah aku bisa keliling – keliling gini juga hasil nabung.” Katanya suatu hari.

Aku terpekik ketika ia menunjukkan padaku foto menara Eiffel. Dari dulu aku ingin sekali pergi ke Perancis. Aku masih ingat aku pernah membuat janji dengan sahabatku, waktu itu kami sepakat bertemu 15 tahun lagi dibawah menara Eiffel. Sudah dua tahun lalu dan aku masih menabung untuk bisa kesana pada waktunya nanti.

Oh iya, aku jadi ingat, aku naksir sebuah kalung dari tembaga berbentuk menara Eiffel yang ku lihat di pasar. Jangan meremehkan pasar tradisional ya, disana kalau mau nyari dapetnya barang bagus kok. Ntar kesana ah, mumpung abis gajian. Semoga saja kalung itu belum dibeli.

Sampai dipasar, aku langsung menuju lapak penjual aksesoris. Loh, tapi mana ya kalungnya? Kan aku taruh di situ, digantungan paling pojok. Sengaja aku letakkan disitu karena takut dibeli orang.

“Nyari apa mbak?” Tanya ibu – ibu penjaganya.

“Itu bu, kalung bentuk Eiffel-nya udah nggak ada ya Bu?”

“Wah, kalung itu udah laku kemaren siang kayaknya dan tinggal satu itu.”

“Yaaah…”

“Yang lain aja mbak, yang bagus – bagus banyak kok.”

Aku Cuma tersenyum. Sediiiih…

Ya sudah pulang sajalah. Aku tinggal bersama kakak laki – laki ku yang sudah menikah. Sekarang istrinya sedang hamil muda dan mendadak terobsesi dengan kebersihan. Begitu masuk rumah aku melihatnya sedang membongkar sebuah kardus besar.

“Itu kardus apa, Mbak?”

“Ini loh, mbak juga baru nemu tadi. Nih ada buku – buku kenangan SD, SMP dan SMA mu.”

“Waah iya.” Lalu aku malah membantu Mbak Yuni membereskan kardus itu.

Setelah semuanya selesai, aku membawa buku – buku kenangan ituke kamarku.

Ku buka lagi yearbook SMA ku. Dulu buku ini harganya yang paling mahal karena kertasnya bagus dan creative designer-nya juga tida sembarangan. Waah, aku jadi kangen masa – masa ini. Masa SMA yang kata orang menyenangkan menurutku biasa saja. Karena aku sudah tertekan duluan dengan nilaiku yang merosot drastic.

SMP adalah masa yang paling menyenangkan menurutku. Aku punya tiga sahabat yang masih sering main bareng kalau kami tidak sedang ssibuk. Sekarang sudah jarang sih, karena salah satu dari kami masuk sekolah pramugari.

Buku kenangan SD adalah yang paling nggak mutu. Kertasnya jelek fotonya foto ijasah hitam putih pula. Informasi perorangannya juga tidak jelas karena yaah anak SD sering lupa mengumpulkan apa yang disuruh sama guru. Tapi ya ampun mereka lucu – lucu banget ya waktu kecil.

Walau kertasnya jelek, aku membukanya dari awal. Tunggu, aku rasanya sering melihat si nomor absen satu ini. Arya Nandadito. Arya…Arya…hmmm…Arya? ARYA?! Ya Tuhaan, masak ini Arya yang itu? Pantas saja aku familiar sekali dengan wajahnya.

Arya ini dulu jelek, kulitnya hitam terbakar matahari karena dia suka sekali bermain sepak bola. Dia juga dikenal sebagai anak nakal yang suka menjahili anak perempuan. Tapi dulu dia selalu baik padaku. Entah kebetulan atau tidak dia selalu stay di sekolah sampai aku dijemput. Padahal rumahnya Cuma berjarak beberapa meter dari sekolah.

Sekarang dia…menarik…

Setelah kejadian itu Arya tidak pernah muncul lagi. Seminggu pertama kupikir Ia traveling lagi. Tapi di minggu kedua ia tidak ada disana. Aku semakin merasa kehilangan. Kadang ketika café sepi aku duduk di kursi dimana ia duduk sambil minum capucinno float kesukaannya.

Suatu hari saat aku duduk di kursi itu aku menyadari ada tulisan tipis di meja. Begini bunyinya: “Temukan sesuatu di kotak pos rumahku. Arya.”

Entah aku yang terlalu percaya diri atau apa, aku merasa tulisan itu ditujukan untukku. Pulang kerja aku menuju ke rumahnya di dekat SD kami dengan hati berdebar penasaran.

Rumah itu masih sama dengan gaya belandanya yang selalu aku suka. Tapi rumah itu kosong. Aku mencoba membuka kotak suratnya dan menemukan sesuatu di dalamnya. Sebuah buku yang lumayan tebal dibungkus plastik dengan tulisan “Untuk Charlotte” diatasnya.

Sampai di rumah, aku membuka buku itu. Sampul depannya bergambar menara Eiffel. Di dalamnya ada banyak foto ku. Fotoku waktu study wisata waktu SD dulu, fotoku waktu menangis karena belum dijemput, fotoku sedang tersenyum memegang penghargaan saat aku memegang ranking ke-IV waktu kelulusan, fotoku didepan SMP dengan seragam SMP ku yang masih kebesaran, dan lain – lain.

Ada sebuah amplop yang menempel di halaman akhir buku itu. Disebelah amplop itu ada tulisan: “Buka amplop ini dan temui aku dipuncak menara paling indah secepatnya.”

Jangan – jangan amplop ini…

Benar saja, amplop itu berisi tiket pesawat ke Perancis yang bebas pakai! Aku memekik keras sampai – sampai kakak laki – laki ku masuk ke kamar.

“Ada apa?”

“Kakaaaaak, aku bisa ke Perancis!!!” kataku sambil memeluknya bahagia. Saking bahagianya akku sampai menangis.

Tiga hari kemudian aku berangkat ke Perancis. Aryaaaa aku dataaaaang

“Lama banget sih aku udah nunggu dari 3 hari lalu tau.” Katanya santai ketika aku menemukannya di Eiffel.

Karena senang aku langsung memeluknya. “Aryaaa, makasih yaa.”

Dia membalas pelukanku sambil berkata “Dari dulu baumu nggak berubah ya?”

"Kok?"

"Iya tetep bau yang aku suka"

Aku tersenyum menatapnya.

"Char, aku mau ngasih sesuatu." katanya sambil memegang tanganku dan meletakkan sesuatu disana.

Tuhan, itu kalung Eiffel tower yang kucari kemarin. Bedanya kalung yang ini terbuat dari perak.

"Aaaaa, bagus banget."

"Maaf ya aku beli duluan."

"Makasih ya Aryaa."