Sunday, January 3, 2010

cerpen yang bikin aku dituduh nyontek


Dari Gelap Menuju Terang

Pagi itu, seperti biasa aku terbangun dari tidurku. Mencium bau tajam yang sudah setiap hari ku cium sejak tiba di rumah ini. Mataku beralih pada sosok yang tidur di sebelahku, Mama. Wajahnya tampak begitu kelelahan dan bajunya berantakan. Ada lingkaran merah di lehernya. Seingatku tadi malam beliau menggendongku dengan baju rumahnya. Dan pagi ini beliau sudah memakai gaun yang sangat pendek memperlihatkan kakinya yang jenjang.
Aku turun dari tempat tidur. Merangkak kepada mainan balok yang ku susun sendiri kemarin sore. Masih berdiri tegak disana. Tapi aku membaalkan niatku untuk kesana. Di dekat situ ada pecahan botol berwarna hijau. Yang isinya adalah minuman-tak-boleh-disentuh. Mama sudah berulangkali memperingatiku untuk tidak menyentuh minuman itu. Aku sempat marah, mengapa aku tidak diperbolehkan minum padahal hampir setiap hari Mama menegaknya.
Pandangaku beralih pada meja tamu. Seperti penampilan Mama pagi ini, meja itu berantakan. Diatasnya tersebar bungkusan – bungkusan kecil yang bisa di terwang. Aku sudah pernah memegangnya. Isinya berbentuk bundar elastis. Sebelum aku sempat membuknya Mama sudah merebutnya. “Jangan pegang – pegang ini ya, sayang.” Kata Mama lembut. Lalu beliau menguap. Lalu menggendongku. Di kecupinya pipiku. “Lilia sayang, kok kamu turun dari tempat tidur sih? Nanti kalo kamu kena beling gimana?” katanya sambil menyentuh hidungku. Lalu beliau meletakkanku di tempat tidur.
Sesaat kemudian ponsel Mama berdering. Mama menjawabnya, “Halo.” Jawabnya ramah. “Oh, yang kemarin malem? Apa? Nanti malem? Oke, jam berapa? Ketemu di tempat yang kemarin malem ya? Oke. Daah!” senyum mengembang di bibir Mama. Membuatnya tambah cantik saja.
Sesudah puas bermain – main denganku, Mama membawaku ke kamar mandi. Seperti biasa kami mandi berdua.
Setelah mandi, Mama menyuapiku bubur ayam yang sangat kusukai. Nyam, rasanya enak sekali. Aku lapar.
Ditengah – tengah makan, aku melihat Mama memegangi perutnya. Mendadak kulit wajahnya memucat. Aku mendekatinya dan ikut – ikutan memegang perut beliau.
“Udah kosong sayang? Sini aa.” Kata Mama menyuapkan sesendok bubur ke mulutku.
Tapi Mama tiba – tiba ambruk sebelum suapan itu sampai ke mulutku. Aku masih sangat kecil untuk bisa mengerti apapun. Jadi aku menangis sekeras – kerasnya sampai para tetangga datang menolong Mama dan membawanya ke rumah sakit.
***
16 tahun kemudian…
Disinilah aku, di sebuah kelab malam yang sangat ramai dan remang – remang. Oh Tuhan, ya ampun, sudah berapa lama aku melupakan Tuhan? Sejak Mama meninggal tiga tahun lalu, aku melupakan Tuhan. Aku menganggap Tuhan begitu kejam. Sejak saat itu rasanya aku ingin mati saja bersama Mama.
Yah, aku baru mengerti semuanya saat aku menginjak umur tujuh. Saat itu aku masuk SD dan di hari pertama aku tidak punya teman. Tak ada satupun yang mau mendekatiku. Aku melihat tatapan – tatapan ibu – ibu merek padaku sungguh menghina. Seakan aku ini sampah. Sejak saat itu aku mulai berpikir.
Dan semuanya terungkap. Tenyata Mama ku seorang kupu – kupu malam yang bahasa kasarnya, pelacur. Dan pecahan kaca hijau yang selama ini ku lihat adalah minuman keras. Kemasan pelastik yang isinya bulat elastis itu adalah kondom.
Dan aku? Jelas anak yang tidak jelas siapa ayahku. Singkatnya aku adalah anak haram. Selama ini Mama menenangkanku dengan kebohongan bahwa ayahku sudah meninggal. Tapi aku tidak menemukan satupun foto laki – laki yang disimpan Mama. Tak pernah ku temukan surat nikah atau apapun yang membuktikan Mama pernah menikah dengan seseorang.
Dunia terasa gelap. Dan aku menjadi anak yang nakal sejak SMP. Tentu saja Mama tidak tahu. Karena Mama selalu pulang lebih larut daripada aku. Tapi aku tak berani berkutik di sekolah. Karena sekiolah pasti akan tetap melapor pada Mama.
Berhari – hari aku pulang malam saat Mama masih ada. Pergi ke diskotik dan tempat – tempat sejenisnya. Bahkan aku sudah melakukan hubungan seks saat usiaku lima belas tahun. Mulai saat itulah aku kecanduan. Setiap ajakan yang datang pasti ku penuhi. Tentu saja dengan bayaran. Lima sampai lima puluh juta pernah masuk kantongku.
Suatu hari, aku pulang lebih awal. Aku melihat sebuah amplop bertuliskan nama sebuah Rumah Sakit tergeletak di meja. Ku buka dan ku baca perlahan isinya. Tidak begitu jelas, tapi aku bisa menyimpulkan. Mama terkena kanker leher rahim stadium akhir. Ya Tuhan!!!
Tepat setengah tahun kemudia Mama meninggal. Aku semakin frustasi dan kehidupanku makin hancur saja. Aku putus sekolah. Buat apa sekolah? Apanya yang harus diperjuangkan?
Aku bertemu seorang lelaki di upacara penguburan. Dia mengaku bernama Eric. Dia mengajakku ke rumahnya. Semula, ku kira dia adalah pelanggan Mama yang memintaku untuk menggantikan Mama. Tap ternyata tidak. Dia tidak menyentuhku sama sekali sampai hari ini.
“Kau ini anakku, Lilia.” Katanya tadi pagi.
Aku jelas merasa sangat kaget. “Bagaimana kau bisa yakin?”
“Dari tanda lahirmu.” Katanya sambil menunjuk tanda lahir di lenganku.
“Lalu kenapa kau baru datang sekarang?!” Tiba – tiba amarahku memuncak. “kenapa dulu kau meninggalkan aku dan Mama?!”
“Karena Sonia yang memintaku. Dia memintaku meninggalkan kalian.” katanya tetap tenang. “Tapi jangan dikira aku melakukannya. Selama 20 tahun ini aku memperjuangkan kalian. Terutama kau. Aku yang mendaftarkanmu sekolah dan membiayai semuanya. Aku sangat kecewa saat kau putus sekolah.”
Sekarang aku bingung sekali. Aku membenci Eric, tapi dia sudah sangat baik. Mungkin kalu dia tidak memberitahuku tentang kenyataan itu aku akan menyayanginya. Dan mungkin sekarang aku sudah menyayanginya. Tanpa sadar.
“Hei, Lilia, sudah lama kau tidak kesini. Mau main denganku?” tanya seorang pria yang jelas sudah mabuk.
“Tidak!”
“Ayolah, aku sudah menunggu nih.” katanya sambil mulai menarik tanganku.
“Nggak! Lepaskan aku!”
Namun dia menambah kuat tarikannya saat aku meronta. Tiba – tiba sebuah pukulan mendarat di bibirnya. Dan dia jatuh terpelanting.
“Mau kau apakan anakku?!” itu Eric!!!
Setelah membereskan pria itu, Eric membawaku pulang. Di mobilnya aku menangis. Aku merasa diriku sangat kotor.
Tiba – tiba mobil Eric berhenti di depan sebuah bangunan yang cukup besar. Azku memandanginya dengan tatapan tempat-apa-ini-?
“Turun dan ikut aku.” Katanya.
Ternyata sebuah gereja. Gereja yang tidak terlalu megah tapi cukup bagus.
“Kau mau kembali ke jalan yang benar kan, Li?” tanyanya sambil mengambil air suci dan membuat tanda salib.
Aku mengangguk.
“Kembalilah pada Tuhan. Dia tak pernah meninggalkanmu.” Katany sambil melngkah masuk. Dan duduk di kursi paling depan. Dia mulai berdoa. Akupun mengikutinya.
Ku pejamkan mataku hingga tercipta sebuah keheningan yang amat menentramkan. Lalu aku mulai berdoa. Dalam doaku, aku menangis. Aku sungguh menyesal telah meninggalkan Tuhan. Aku juga mendoakan supaya Mama bahagis di surga. Dan yang terakhir untuk Papa Eric yang sudah menyelamatkanku.
Saat aku membuka mata, aku meliht Papa Eric duduk menunduk. Beliau tertidur. Ku dekati dia, ku kecup pipinya. Dia terbangun.
“Aku sudah selesai berdoa. Ayo pulang, Pa…”

No comments:

Post a Comment